Balada Kerja Prakter Bag.2


Gue berangkat dari stasiun Pasar Turi bersama temen-temen yang juga KP di instansi yang sama. Hanya saja berbeda laboratorium. Gue merasa nervous sebelum naik kereta. Jujur saja, ini adalah kali kedua gue naik kereta. Setelah sebelumnya gue naik kereta ke malang dengan cara berdiri ditengah sambungan gerbong. Ya mau gimana lagi, namanya tiket murah.

Pukul lima sore, gue masuk kedalam gerbong. Gerbong terlihat bersih dan mewah. Gue baru sadar jika kereta eksekutif dan ekonomi itu berbeda. Beda interiornya, Beda tingkat keempukan kursi, dan yang jelas harganya beda. Gue duduk di deret paling depan, di ujung pintu. Gue duduk sendirian karena seat  yang gue duduki merupakan seat tunggal. 

Jalannya kereta eksekutif sangat cepat. Di jendela, yang bisa kulihat hanyalah cahaya remang dan kegelapan yang pekat. Jujur saja, gue gak terlalu suka naik kereta. Gue malah lebih suka naik bus. Secara bus kan tampangnya tampan gitu, ketimbang kereta yang tiap mau berangkat pasti sebat dulu. 

Salah satu alasan gue tidak menyukai naik kereta adalah karena nggak bisa nikmatin pemandangan dari balik jendela. Warna gelap dan lampu warung terlintas secara cepat yang terlihat samar oleh retina. Tidak aesthetic sama sekali. Beda dengan bus yang memang pemandangannya masih bisa gue lihat dari balik jendela. Karena tidak bisa melihat apapun, gue memutuskan untuk tidur.

Gue terbangun pukul 01:20. Gue mengucek mata untuk mendapatkan kesadaran. Tiba-tiba pintu depan gerbong terbuka. Muncul pramugara dan pramugari kereta lengkap dengan seragam, menenteng beberapa makanan. Rupanya, pihak KA menjual beberapa makanan dan minuman ke penumpang yang mungkin sedang kelaparan. Sekarang Kereta api sudah seperti pesawat. Hanya saja, kita tidak bisa melihat burung dari balik jendela.

Tapi gue merasa kesal dengan service ini. Selain harganya mahal, si pramugara/ri tidak menawarkan apapun ke gue. Mereka langsung mengalihkan perhatian menuju samping kanan mereka (kiri gue), dan menawarkan kepada penumpang lain. Gue menduga, si pramugara/ri ini memiliki ilmu penerawangan yang sangat hebat. Mereka bisa membaca raut wajah gue yang seakan bilang,
 
“Gue gapunya duit buat beli”. 

Dan mereka mengabaikan gue. Hal itu sudah berlangsung sejak gue naik kereta pertama kali. Apakah tampang gue se-kere itu? Kenyataannya dompet gue yang berkata demikian. Gue emang kere. Nasi goreng 30 ribu yang ditawarkan itu gak akan pernah ke beli sama gue.

Setelah pramugara/ri itu pergi, suasana gerbong jadi senyap kembali. Kebanyakan penumpang memilih untuk tidur hingga sampai kota tujuan mereka. Sisanya, para insom memilih bermain ponselnya untuk membunuh waktu. Gue yang terbangun susah untuk terlelap kembali. Jadi gue memutuskan untuk menikmati perjalanan saja. Tapi, gue malah memilih pilihan yang salah.

Kereta tiba-tiba menambah lajunya. Gue bisa merasakan gesekan antara roda dan rel yang saling berpadu satu sama lain. Gerbong kereta bergoyang hebat. Gue panik. Gue sempet berpikir kereta ini akan anjlok. Gue memegangi pegangan kursi dengan sangat kuat. Sekilas gue lihat gerbong depan gue juga bergoyang hebat. 

Gawat, bener ini mau anjlok, batin gue.

Gue langsung berdoa pada tuhan setidaknya selamatkan gue dari anjloknya kereta jika benar-benar anjlok. Goyangan kereta makin menjadi. Gerbong depan bahkan sudah kelihatan miring-miring. Jantung gue berdetak begitu cepat, bahkan gue menahan agar urine gue tidak keluar dari kandung kemih. Ya Allah, gue gamau mati! Selamatkan kereta ini Ya Allah!

***

Colekan tangan seseorang membangunkan gue. Gue mengerjapkan mata, melihat sekeliling.

“Udah mau sampe, siap-siap.”ujarnya. Karena proses pengumpulan nyawa, gue bingung dengan ucapannya. Ini mau nyampe mana? Surga? Bener gue udah mati? Kenapa gue matinya cepet banget ya, Ya Allah!

Terdengar kemudian dari speaker bahwa kereta sesaat lagi akan memasuki stasiun Jatinegara. Gue menoleh ke temen gue, mereka mulai berdiri dan menurunkan koper. 

Oh, jadi mau turun kereta. Keretanya nggak jadi anjlok. Syukur deh, batin gue.

Gue dan temen-temen sampai di stasiun jatinegara pukul empat kurang sepuluh. Pada jam segitu, harusnya stasiun masih sepi akan penumpang, terlebih lagi hujan. Tapi ini sungguh diluar dugaan. Deretan manusia tampak sedang menunggu kereta. Efek mudik masih sangat terasa.

Gue dengan terkantuk-kantuk turun ke stasiun. Bawaan ransel dan koper yang begitu berat memang sangat merepotkan. Tapi ya mau gimana lagi, namanya juga udah niat untuk mencari ilmu ya harus dijalani.

“Kita nunggu shubuh dulu, ntar kita beli tiket KRL.” Kata temen gue. Temen gue ini kedua kalinya ke jakarta buat KP. Kegiatan KP nya seperti dipartisi. Hal ini karena dia berangkat duluan, sementara pada akhir bulan terpotong oleh libur hari raya. Sok sibuk emang! Usai shalat, kita membeli tiket KRL.

Jujur saja sebelum gue ke Jakarta, gue tau KRL cuma dari televisi doang. Akhirnya setelah sekian lama cuma bisa liatin di TV, gue naik KRL juga. Tarif lumayan murah, hanya 15 ribu dan nanti uang kembali 10 ribu setelah melakukan tap di gate keluar stasiun. Syaratnya, kartu jangan sampe ilang atau kebawa pulang. Kedua, jangan nyasar atau turun di stasiun yang salah, dalam hal ini “kebablasan”. Nantinya jika bablas, bakal kena pinalti, otomatis duit lo yang balik jadi dikit atau bahkan nggak balik sama sekali. Sadis, tapi itulah Jakarta.

Nunggu KRL cukup membosankan. Tujuan kita adalah ke daerah Cibinong. Terdapat beberapa cara kalo kita mau ke sana. Berikut gue jabarin.

Pertama, elo tunggu kereta yang tujuannya Bogor. Kereta ini lama banget. Selain nunggunya, jalannya juga lama karena dia harus muter dulu ke Jakarta pusat dan Stasiun lainnya. Pokonya, kalo elo dapet berdiri, gue yakin kaki rematik sehabis turun KRL.

Kedua, lo naik kereta ke Manggarai. Nantinya elo bakal ganti kereta yang lain. Jadi cuma transif doang. Ketika di Manggarai, elo punya 2 cara kalo mau ke Cibinong. Mau stasiun Cibinong langsung atau ke Bojong Gede terlebih dahulu. Sama aja. Yang membedakan hanya 
datangnya kereta. Kereta yang menuju Bogor lebih sering dari pada yang nantinya melewati Cibinong. Kenapa? Karena lebih banyak orang Bogor yang kerja di Jakarta, ataupun sebaliknya. Jadi kereta yang menuju Cibinong itu datangnya sesuai dengan jadwal dan nggak tentu. Jika memilih Bojong Gede, nanti untuk menuju Cibinong juga ada 2 cara. Cara ribet atau cara praktis.

Ribet : Elo perlu naik angkot. Jadi elo harus keluar dulu nyari angkot 05 menuju jalan baru. Sampai Jalan baru, elo turun lagi, naik angkot 35. Ketika pas di lampu merah elo turun dan naik lagi angkot 34. Terus turun lagi ntar di depan Mall Cibinong. Buat ke LIPI nya naik angkot 08 arah Bogor. Nah, nanti elo tepok pundak supir angkotnya buat berhenti di depan LIPI. Dan, kini anda telah berada di depan LIPI. Gerbangnya doang.

Praktis : Praktisnya elo naik Ojek Online. Baik GoJek, Grab, atau Uber nggak masalah. Yang perlu diperhatikan, kalo naik Ojol turunnya di stasiun yang deket pasar, jangan yang deket tempat ngetem angkot. Sampai aja engga, malah supir ojek online elo yang babak belur.

Berdasarkan hal diatas, kami memilih cara praktis. Ojek Online. Badan kami sudah terlalu lelah untuk tawuran dengan supir angkot. 

 ***
Badan gue serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Ngilu dan nyeri menyelimuti seluruh tubuh. Ditambah, badan gue yang lengket karena seharian belum mandi. Perjalanan sehari, terasa seperti perjalanan seminggu.

Gue turun di Rusunawa LIPI, tempat anak-anak cewek akan bertempat tinggal selama sebulan ke depan. Gue sebenarnya sudah punya kos. Sudah lunas, dan sudah siap, tinggal di masukin aja. Tapi masalahnya, gue terlalu buta akan wilayah Cibinong. Sehingga gue memutuskan untuk bersama anak-anak cewek terlebih dahulu. 

Sialnya, gue disuruh untuk istirahat di gedung cewek. Dengan membawa koper dan ransel besar, gue memasuki Rusunawa tersebut. Tentunya dengan perasaan khawatir. Khawatir bakal ditangkap lalu dibakar, perkara menerobos Rusunawa wanita.

Beruntungnya, mayoritas penghuni sedang menikmati libur lebaran yang menyisakan 3 hari lagi. Jadi kondisi Rusunawa masih sangat sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih tetap tinggal di Rusunawa. Pada hari itu, gue selamat dari hukuman bakar.

Sore hari, gue meninggalkan Rusunawa wanita tersebut menuju kosan. Dengan menggunakan ojol, gue melewati daerah terjal area dalam LIPI. Sepanjang perjalanan, gue mengamati daerah tersebut. Barangkali kalo nanti gue nyasar, gue bisa mencari area yang gue lewati guna mencari pertolongan.

Gue disambut dengan ramah oleh bapak kos. Namanya pak Rodi. Beliau terlihat tua dengan brewok setengah putih dan setengah hitam. Gue diantar menuju kamar gue. Dengan senyuman, beliau mempersilahkan gue buat masuk ke dalam kamar. Setelah itu, beliau pergi kembali menuju warungnya.

Kosan gue saat itu masih sepi penghuni. Biasanya, kosan tersebut memang dihuni untuk mahasiswa PKL atau sedang magang kerja. Hanya terdapat gue, dan 2 orang kamar seberang. Kedua-duanya anti sosial, jadi gue memutuskan untuk ikutan anti sosial dengan mereka.

Malam tiba, dan gue telah membersihkan kamar. Masalah kemudian datang dengan sekejap. Malam ini gue mau makan apa? Gue ngga tahu wilayah sini, dan tidak tahu harus kemana. Dan kampretnya, temen-temen cewek Rusunawa mengirim foto jika sedang masak. Alhasil malam itu, gue makan roti sisa perjalanan gue ke Jakarta.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Short Story Mind @ copyright 2013. Diberdayakan oleh Blogger.
Blacy Smiley - Silly

Check

Jaringan Penulis Indonesia Moker

Riwayat Hidup

Foto saya
Gue adalah gue. Gue yakin jika gue akan jadi penulis. Kenapa..? Karena gue saat ini sedang menulis ini. Nggak percaya, liat aja tulisannnya. Follow @propariotik

Pengikut

Visit

Cerpenmu